OOC Read this First
Tulisan Ini hanya sebagai salah satu bentuk kekecewaan terhadap Program Tourism Malaysia yang mengclaim sebahagian Budaya Indonesia, tidak terkait dengan Orang malaysia, truthly i met many Malaysian people who are nice... so dont mix that "TOURISM thing with Personal Friendship"
bukankah tak kenal maka tak sayang..
dan Tolong gunakan kata-kata sopan kalau anda menkomentari tulisan ini
Tulisan Ini hanya sebagai salah satu bentuk kekecewaan terhadap Program Tourism Malaysia yang mengclaim sebahagian Budaya Indonesia, tidak terkait dengan Orang malaysia, truthly i met many Malaysian people who are nice... so dont mix that "TOURISM thing with Personal Friendship"
bukankah tak kenal maka tak sayang..
dan Tolong gunakan kata-kata sopan kalau anda menkomentari tulisan ini
Pernah dengar istilah “Malaysia Truly Asia”? Pernah banget pasti jawabnya. Ya,.. itu adalah tag line dari destination brand industri pariwisata Malaysia. Berturut-turut tag line ini memperoleh penghargaan serta memenangkan lebih dari 25 international creative and marketing effectiveness awards, termasuk pemenang pada ‘Asia’s Best Long-Term Marketing and Branding Campaign’ in Media Magazine’s Asian Marketing Effectiveness Awards yang berlangsung di Macau tahun 2008.
Namun, benarkah Malaysia se-Truly asia itu? Nggak banget jawabnya. Let start dari bahasa melayu yg notabene bahasa nasional mereka yg sekarang mulai terpinggirkan oleh bahasa Inggris, yup… step by step bahasa Inggris mulai menjadi bahasa utama bangsa Malaysia dan menggeser posisi bahasa nasional mereka sendiri. Is it the truly Asia? Nope!
Setelah bahasa, mari kita beralih kepada seni dan budaya Malaysia. Sebagai bangsa serumpun (sama-sama Melayu), bisa dimaklumi jika bangsa Malaysia memiliki karakter seni dan budaya yang hampir mirip dengan bangsa Indonesia. Akan tetapi itu bukan berarti kita rela dan mentolerir jika Malaysia melakukan claim terhadap kekayaan seni dan budaya yang jelas-jelas milik kita, mengakuinya serta mem-publish-nya kedunia internasional sebagai bagian dari promosi pariwisata yang tentu saja bertujuan untuk memperoleh keuntungan finansial. Ada keris, ada batik, ada reog, kuda lumping, ada juga angklung dan kini dalam sebuah iklan commercial di discovery chanel, Malaysia menggunakan tari Pendet untuk mempromosikan salah satu program wisata mereka. Meminjam istilah bang Haji Oma, kegiatan ini sudah sungguh TERLALU.
Berbeda dengan kasus-kasus pengakuan budaya lainya, saat mendengar kasus tari Pendet yg sekarang ini, reaksi pertama saya adalah tersenyum kecut, kemudian menjadi tertawa lepas melihat “kebodohan” penanggung jawab program yg mencatut tarian sakral masyarakat Bali ini. Mengapa saya mengatakan “bodoh”? karena mereka lupa atau mungkin kurang teliti dalam memilih target seni dan budaya kita yang akan di catut untuk kemudian diakui. Tari Pendet berada dalam posisi berbeda dibanding reog atau pun kuda lumping, Pendet adalah tarian khas yang sangat identik dengan Bali, sama halnya dengan tari kecak. Bali sendiri adalah tourism destination yang jauh lebih terkenal di banding Malaysia sendiri,.. bahkan dibelahan dunia sana, ada sebagian orang yang lebih mengenal Bali dibanding Indonesia. Disinilah letak kebodohanya, brand Bali yang secara defacto sangat terkenal di dunia Internasional akan menyulitkan Malaysia di kemudian hari. Jika claim ini terus dilanjutkan, sama artinya mereka ingin mempermalukan diri dan menjatuhkan image mereka sendiri, karena cepat atau lambat, masyarakat dunia akan mengetahui dari mana asal tarian tersebut.
Wajar klo kita merasa marah, wajar juga kalo kita ngrasa nggak rela, tapi hendaknya kasus-kasus seperti ini harus menjadi pelajaran kita bersama. Bersama-sama semua elemen masyarakat dibawah komando pemerintah melakukan perlindungan yang kuat terhadap kekayaan seni dan budaya bangsa ini agar tidak kembali lagi terjadi kasus-kasus semacam ini. Malaysia juga sebagai Negara tetangga yang masih serumpun, hendaknya juga lebih dapat menjaga perasaan bangsa ini agar tidak berkembang menjadi konflik antar bangsa. Bukankah lebih nyaman jika kita hidup berdampingan dengan sikap tenggang rasa dan saling menghargai? Kalau missal alasanya, Malaysia menganggap seni dan budaya tersebut juga bagian dari warisan nenek moyangnya, boleh saja tapi bukan dengan meng-claim seperti itu dan memanfaatkanya bagi keuntungan Malaysia sendiri. Di Indonesia ada barongsai, kesenian ini juga bagian bangsa ini yang dimiliki etnis China Indonesia. Tapi kami tidak kemudian meng-claim kesenian ini sebagai kesenian asli milik kami dan menjadikanya sebagai sebuah identity, karena kami tau barongsai adalah milik bangsa china dan kami memposisikan kesenian ini sebagai salah satu dari pluralisme kekayaan seni dan budaya negeri ini.
Jika teman-teman di Malaysia tetap bertahan dengan hal-hal tidak etis seperti ini, tetap mengklaim kekayaan seni dan budaya bangsa Indonesia sebagai milik mereka, mengapa tidak sekalian merubah destination brand pariwisata anda, dari “Malaysia Truly Asia” menjadi “Malaysia Truly Indonesia” alias Indonesia Wannabe! LOL
0 komentar:
Posting Komentar