Terasi, Indomie, dan sate ayam untuk sahabat…
Sebagai orang yang tumbuh di negara “Emerald of Equator” yang telah tumbuh bersama adat istiadat serta budaya Indonesia, begitu juga masakan Indonesia, tanpa kita sadari rasa, aroma, bentuk masakan Indonesia sudah terpatri dalam lidah, hidung, dan memori kita… ketika tinggal di Indonesia saya sendiri merasa bosan dengan masakan Indonesia, “ah bosan ama tempe, ah bosan ama nasigoreng… ah pengen ke KFC aja… ah pengen ke Hokben aja…atauwa ke sushi tei..” begitulah pikiran yang ada di kepala saya waktu itu… BOSAN DENGAN MASAKAN INDONESIA…
Tapi semua itu berubah, Alhamdulillah saya di beri kesempatan Untuk mengenyam pendidikan di Negeri Gingseng; Korea selatan selama 6 bulan untuk program pertukaran pelajar antara UGM dengan Universitas Kyung hee di Seoul
Seoul end of winter 2009 on February… saya tiba di Seoul ibukota negeri Gingseng Korea Selatan, negerinya para pertapa gunung (mount Hermit), siapa menyangka negara yang mereka sebut Dae Han Min Guk 대한민국 ini begitu bersih, tidak terlalu banyak kendaraan bermotor seperti di indonesia, khususnya sepeda motor, sejauh mata memandang hanya ada kendaraan roda empat, udaranya pun bisa dibilang bersih, pepohonan di pinggir jalan tertata rapi, tak terlihat juga adanya tiang listris serta kabel yang menjuntai, sehingga pohon tetap dibiarkan tumbuh seolah tak takut dipangkas untuk mempertahankan tiang listrik... selain itu pula daerah untuk pejalan kaki bisa dibilang luas mungkin ada selebar 5 meter untuk pejalan kaki dan itupun masih ada pedagang kaki lima yang menjual “tokpokki” (sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras lalu dimasak serta disajikan dengan rasa pedas) atau warung “odeng” dan tak lupa kios kios kecil yang menjual “kimbab” 김밥di pinggir jalan, pada malam hari daerah ini menjadi daerah yang sibuk dikarenakan orang yang pulang dari kerja terkadang memilih makan di daerah ini
Di Seoul saya tinggal di Asrama yang di sediakan oleh pihak Universitas, letaknya di daerah Hoegi dekat dengan Hoegi Yog *perjalanan dari Asrama menuju ke Hoegi Yog hanya membutuhkan waktu 20 menit Jalan kaki... pada saat pertama kali datang, Korea menyambut saya dengan hawa dingin minus 10 derajat Celcius... begitu menurut laporan televisi pada saat itu, tak ayal bagai orang yang sudah terbiasa dengan suhu negara katulistiwa yang notabene paling rendah 22 derajat dan paling tinggi 40 derajat celcius, minus 10 derajat terasa amat sangat menusuk Hidung, akibatnya rasa dingin menusuk tulang menghantui saya dan tiap hari tidak bisa lepas dari tissue dikarenakan saya mengalami pendarahan di hidung karena udara dingin... bayangkan saja setiap hari saya harus menempuh 2 KM dari Asrama menuju kelas saat musim dingin, pakai jaket tebel, celana tebel, sarung tangan mirip petinju... tas dan sekotak tissue di tangan... tubuh saya yang “Sintal” ini menjadi lebih mirip Sapi gelonggongan berkat jaket dan baju musim dingin yang tebal tersebut, selain itu pendarahan di hidung saya lebih mendekati tidak normal karena darah terus mengalir, kata orang hidung saya habis kena tonjok.... dan tissue yang berwarna putih itu dengan cepat memerah karena darah...
Uuugh tidak nyaman memang, belum lagi pada malam hari dimana udara semakin menusuk, saya bisa menghabiskan waktu 2 jam di kamar mandi untuk sekedar mandi shower air hangat, dan menyalakan pemanas ruangan di suhu 25 derajat... suhu dingin ternyata juga tidak baik untuk kulit saya, betapa tidak kulit saya menjadi “besisik” kata orang jawa, yaitu timbul sisik sisik yang berupa kulit mati yang akhirnya memutih dan berkelupas... jikalau beruntung kamu bisa menariknya selembar kulit tipis mirip kulit ular, untuk mengindari ini... saya setiap pagi dan sore hari setelah mandi memakaikan lotion ke seluruh tubuh... capek memang
Belum lagi jika dihadapkan dengan makanan, pada awalnya saya pikir akan baik-baik saja dikarenakan makanan korea, memakai Beras sebagai makanan pokoknya, selain itu pula sebagai muslim, tentu tak masalah jika hanya makan sayuran dan memilih menu seafood sebagai sumber proteinnya, apalagi rasa “Kalbi Tang” mirip sekali dengan sup buntut di indonesia, tiap pagi sebelum berangkat ke Kampus saya sering mampir ke “mekjom” sebutan sebuah toko kecil yang menjual makanan di korea, dengan 500 won saya sudah mendapatkan sebuah nasi kepal berisikan daging tuna didalamnya “Camci Samgak kimbab” dengan 1000 won kita sudah dapat 2 biji dan itu cukup mengenyangkan hingga siang hari, lalu siang harinya menu macam bibimbab sering menjadi langganan saya... tentu kita tahu korea terkenal akan Kimchi sayurang yang telah dibumbui dan di fermentasi ini menjadi primadona di korea, seperti orang indonesia yang makan harus pake kerupuk, kimchi pun seperti itu, tapi saya BERSUMPAH tidak akan menyentuh kimchi lagi... dikarenakan ternyata perut saya tidak bisa menolerir kimchi dan berakibat pada “penyakit Toilet Lover” tiap 2 jam sekali...
Euforia akan makanan baru tersebut ternyata hanya bertahan 1 bulan untuk saya, pada akhirnya saya terserang homesick akan makanan indonesia, Tempe Goreng yang nikmat itu terbayang di lidah saya, sambal terasi yang biasa saya nikmati bersama lalapan itu menggelitik otak saya, opor ayam, gulai, gado gado... hingga nasi goreng... huufffh meski korea juga punya masakan Nasi goreng atau lebih di kenal sebagai “Bokkembab” tidak serta merta menghapus rasa kangen saya terhadap rasa nasi goreng indonesia, betapa tidak... nasi goreng korea hanya berbumbukan margarin, garam, dan kecap asin lalu di beri kacang polong... euuuugh~!!!!! Pokoknya kurang bumbu laaaah..... kurang pedes lah... SERBA KEKURANGAN GILAA~!!!!
Untungnya di asrama saya tersedia dapur umum yang bisa di buat memasak, aturannya cukup jelas, setelah masak dapur harus di bersihkan, jangan di kotori...
Di dapur asrama inilah saya mengenal Erina-chan (21) seorang gadis jepang yang belajar linguistik, lalu Tatyana (19) gadis ini berasal dari Rusia, Olya (22) seorang mahasiswi dari kazakstan, Roddick (23) mahasiswa dari China serta, Misumi (22) gadis keturunan korea yang menjadi warga negara jepang...
Pada awalnya saya hanya berbekal bahasa inggris dan bahasa jepang yang fasih, Erina-chan yang berasal dari Kyoto ini fasih berbahasa korea tapi tidak lancar berbahasa Inggris, Tatyana fasih berbahasa Korea dan Inggris, sedangkan Olya dan Roddick hanya bisa berbahasa inggris dan bahasa negara mereka masing masing
Dari kegiatan dapur inilah saya bisa tahu pribadi dan sifat teman teman saya tersebut, termasuk pengetahuan baru bahwa ternyata di kazakstan ada pula keturunan russia, sehingga tak ayal buat Tatyana dan Olya sering memakai Bahasa Rusia, sedangkan terhadap Misumi dan Erina saya lebih sering memakai Bahasa jepang,
Masih teringat seperti kemarin, kala itu saya masuk ke dapur asrama dan melihat Erina sedang memasak “Oyakodon” *masakan ini menurut saya lebih mirip telur orak-arik* seperti orang indonesia pada umumnya, tentu basa-basi jadi andalan untuk meperekat suasana, mulai dari berkenalan hingga Tatyana masuk ke dapur dan saya mengetahui erina tidak begitu lancar berbahasa Inggris sehingga Sistem obrolannya secara billingual, ke tatyana saya berbicara dalam bahasa Inggris, ke erina saya mentransasikan dalam bahasa jepang sedang Tatyana lancar dalam bahasa korea sehingga tidak begitu menjumpai kesulitan untuk berkomunikasi dengan erina
Jaring persahabatan kami berkembang, Tatyana mengenalkan Olya, dan Erina menggenalkan Roddick teman sekelasnya ke kami, dan saya bertemu Misumi saat memasak pada Minggu, dan hampir setiap hari sepertinya dapur menjadi basecamp kami mahasiswa di asrama yang suka memasak, sebenarnya sih bukan kami saja yang menggunakan dapur, tapi kebanyakan siswa lainnya hanya menggunakan dapur dengan praktis, exp mengambil air panas di dapur, membuat kopi, teh dan lain lain yang bisa dibilang cukup sederhana, sehingga oleh para “ajuma” atau bibi bibi penjaga asrama kami sering dibilang geng dapur..
Memasak di dapur asrama menjadi hal yang sering saya lakukan pada sore hari, meski hanya memasak nasi goreng dengan sambal botol abc yang saya beli dari warung halal dekat masjid di ittaewon, itu sudah cukup untuk mengurangi rasa kangen saya terhadap masakan Indonesia, tak jarang pula kami ber-enam saling bertukar dan saling mencicipi masakan negara masing-masing, mereka bilang mereka suka dengan masakan Indonesia yan saya masak, seperti nasi goreng terasi, tumis terong bumbu kecap dan terasi, mie goreng jawa, dan perkedel jagung
Hahaha hampir masakan saya memakai bumbu terasi, terasi atau bahasa inggrisnya “fermented Shrimp block” dan di negeri Jiran terkenal dengan nama Belacan ini punya bau yang khas dan menyengat, meski terasi yang di jual di Pasar Halal di Ittaewon kebanyakan buatan Thailan (kurang enak sih daripada terasi di jawa) tapi cukuplah untuk menghadirkan rasa seperti masakan Indonesia, bagi orang asing, masakan indonesia bisa dibilang DISASTER FOR NOSE *LOL betapa tidak bau terasi yang di hangatkan tentunya menguar hebat sampai seantero lantai 1 tempat dapur berada, dan pernah juga berulang kali saya dimarahi oleh Ajuma tentang bau terasi, tapi ujung ujungnya Ajuma tersebut malah ikut makan dan suka dengan terasi *ngikik kalau Inget pernah dimarahin abis-abisan*
Dari dapur inilah kemudian kami ber-enam menjadi akrab, meski berbeda kelas kami semua memiliki 1 persamaan, suka memasak... dan waktu sudah mencapai 5 bulan semenjak kami berkenalan, di akhir semester spring, ada sebuah acara di Kyung Hee, dimana seluruh pelajar pertukaran tiap negara bergabung dan membentuk team untuk menyajikan masakan negaranya masing-masing, saat itu saya di daulat untuk mengumpulkan mahasiswa Indonesia yang Kuliah di Kyung Hee, tidak sulit memang tapi hanya beberapa yang pandai memasak sehingga kami berembuk untuk membuat makanan yang gampang hingga terpilihlah, Sate Ayam dan Bakso... waktu itu team Indonesia terdiri dari saya, bli putu, Theosa, richo, Putri, Windy, Dahnia, mbak Wardah dan Mbak egga tugas mulai dari beli daging ayam, membuat bumbu. Beli arang, dibagi rata, dan pada hari H, saya bertugas sebagai Pembakar Sate *ternyata ada bakat tukang sate dari darah madura saya* LOL
Meski bau asap sate, meski bau arang... mencium bau sate yang dibakar dan dibumbui dengan bumbu kacang plus kecap manis membuat saya bersemangat, apalagi melihat teman saya yang lain sedang berusaha dengan giat, Roddick yang berada di Meja China tampaknya sedang mengulung adonan yang lebih mirip dengan siomay kalau di Indonesia, Erina dan Misumi sedang Serius memotong bahan sup di meja Jepang, dan tatyana serta Olya sedang sibuk menyiapkan kaldu masakan mereka di Meja rusia... selain Rusia, China, jepang dan Indonesia, masih banyak negara lain yang berpartisipasi, ada pula India, Kirkistan, prancis, Arab, Persia, Vietnam, Laos...
Pada Awalnya kami orang Indonesia tidak yakin bisa menang melawan masakan negara lain, apalagi masakan negara prancis yang terkenal akan kelezatannya, otomatislah kami maju begitu saja dengan hanya Sate Ayam dan bakso pada festival ini Sistem Penilaian berdasar poling dari masing masing kelas, jadi sekitar ada 35 kelas yang menjadi Juri untuk Masakan 12 negara peserta, hasilnya 19 suara berhasil di sabet oleh Indonesia dan membuahkan Hasil sebagai juara satu *alhamdulillah* saat itu semua teman menyalami kami semua, senang rasanya mengharumkan nama Indonesia meski hanya di kontest masak antar mahasiswa Internasional
Sore harinya, masih ada beberapa Sate dan satu Panci bakso saya bawa dari sisa Kontes memasak tadi, begitu Juga dengan Erina, Misumi, Roddick, Tatyana dan Olya, sebagai peserta kami hampir tidak bisa makan masakan kami sendiri, sehingga beberapa makanan yang masih tersisa di bungkus dan di bawa pulang,
Di Common room tempat kami biasa berkumpul, masing-masing dari kami mengeluarkan bekal makanan dan menikmati makanan tadi bersama dalam diam, entah tanpa disadari sudah hampir mendekati masa akhir pertukaran pelajar sudah 5 bulan kami bersama, dan mungkin hanya tinggal beberapa minggu lagi sebelum kami pulang ke negara masing-masing, entah siapa yang memulai, seseorang memecahkan keheningan lalu di lanjutkan dengan derai tangisan, tanpa sadar kami semua menangis, dan diri saya menangis dalam diam sambil mengunyah makanan, baru kali ini saya merasakan rasa masakan yang enak dan bahagia bercampur dengan rasa sedih dan air mata...
Sekarang, masing-masing dari kami sudah pulang ke negaranya, hanya email yang jadi alat penghubung antar kami ber-enam, saat membaca email mereka, Erina-chan selalu bilang kangen akan sambal terasi saya dan kemarahan Ajuma ketika kami menggoreng terasi, Misumi-san cerita bahwa dia menemukan toko yang menjual Indomie di daerahnya, Indomie itu mengingatkan ketika dia dan saya pergi ke Ansan, Roddick: sekarang ia berencana untuk membuka restoran cabang keluarganya, Tatyana : dia akan menggambil S2 di Harvard dan Olya akan segera menikah dengan pacarnya...
-fin-